Skip to main content

Hujan

Aku merangkak dari tempat tidurku yang hangat - melalui lantai-lantai kamar yang terasa dingin dan penuh barang-barang keseharianku yang berantakan. Sudah hampir seminggu ini aku tidak mengurusinya - kesibukanku di sekolah dan tempatku bekerja paruh waktulah yang melatar belakangi hal ini.

Tak masalah, besok hari minggu, aku memiliki banyak waktu untuk membereskannya.

Ponselku berdering dari ujung ruangan, membangunkanku dari tidur singkatku. Aku masih mengantuk - kepalaku terasa pening ketika mencoba membaca rangkaian kata pada layar. Snif. Snif. Dan suatu cairan kental perlahan keluar dari kedua lubang hidungku. Aku butuh tisu! Aku meraba-raba permukaan meja pendek tempat ponselku berada - berusaha menemukan gumpalan tisu sisa malam tadi.

Ah, tidak ada!

Aku menekan tombol lampu dan mengacak-acak buku yang hendak kubawa nanti dan hasilnya nihil, aku belum juga menemukan tisu yang kucari. Karena tak tahan, aku menggunakan kaos hijauku sebagai sapu tangan. Menjijikkan! Tapi untuk sekarang aku tak peduli karena penyakit yang membuatku hampir kehilangan suara dan cairan yang terkadang menyumbat hidungku ini benar-benar menggangguku.



Ah, akhirnya aku dapat membacanya! Aku tersenyum sambil tertawa. Ucapan selamat ulang tahun yang pertama kali dan mungkin juga akan menjadi yang terakhir untukku. Aku sendiri hampir tak mengingat hal ini, atau lebih tepatnya berusaha untuk melupakannya.

Terimakasih - satu kata yang dapat kuucapkan untuk membalas seluruh kalimatnya yang memenuhi layar ponselku. Aku tak dapat menambahkan sepatah kata apapun untuknya. Hanya ucapan terimkasih dan tidak ada kata lain yang dapat mewakili perasaan ini.

***
"Ya, selamat pagi!"

Aku berjalan dari kamarku menuju tempatku bersekolah - menggunakan kedua kakiku sambil bersenandung pelan. Kau tahu? pagi ini hujan kembali turun, kurasa bukan suatu masalah mengingat jarak yang tidak terlalu jauh untuk menuju kesana. Namun, aku tidak terlalu menyukai hujan. Sekarang aku sadar, setiap kali hujan turun, kenangan-kenangan itu perlahan muncul dalam benakku - menyakitkan.

Selain membasahi tubuh, rintik-rintik hujan ini juga terkadang membuat air mataku kembali menetes. Memalukan bukan? Aku tahu, sebagai seorang lelaki aku tidak berhak untuk melakukannya. Ah, lupakan! Hujan terlalu banyak menyisihkan duka bagiku. 

***

Seluruhnya dimulai ketika rintik mulai datang...
Seluruhnya terjadi saat guyuran air turun...
Seluruhnya kandas ketika gemuruh menyambar...
Dan seluruhnya terbesit ketika aroma mulai tercium... 

Hujan, ada suatu ketika aku menyukaimu...
Seluruhnya berawal ketika tetesan air itu ada...

Namun hujan, kau tahu?
Suatu saat, aku mulai membencimu...
Semuanya terasa dingin, basah...
Hal itu membuatku risih...
Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa selama tak ada tempat yang dapat kutuju 
Selama kilatan itu nampak, selama tetesan ini terasa...

Tak adakah tempat bagiku?

Pensil mekanik biruku bernyanyi ria di atas kertas buram yang kudapatkan seusai tes tadi - masih melanjutkan kata demi kata yang saat ini terbesit di otakku.

"Nii~ Uniie~ Eh, salah! Onii-chan~"

Aku membalikkan badanku. Bocah berambut hitam itu tersenyum padaku. Potongan cepaknya yang tak lain merupakan percobaan gagal dari usaha menjadi seorang penata rambut profesional rupanya belum juga ia urus - masih berantakan seperti beberapa hari lalu - membuat penampilan anak aneh itu makin menjadi.

"Hm?"

Aku hanya menaikkan kedua alis - menunggu informasi lebih lanjut darinya.

Dia hanya tersenyum lebar sambil menahan tawa. 

"Ahahaha!" Sambil menyembunyikan membenamkan wajahnya di balik kedua lipatan lengan, tawanya pun membludak. Aku tak lagi heran terhadap tingkah lakunya yang kekanak-kanakan itu.Dia memang seorang bocah, pikirku. 

"Ada apa?"

"Ah, maaf... Ehehe~ Em... ehem! Oniichan~ Aku berhasil memotret foto kalian berdua ehehe~"

Rasa bahagia benar-benar tepancar dari wajahnya. 

"Oh, boleh aku lihat?"

Aku hanya bertingkah selayaknya. Tak ada rasa kesal sekalipun -  aku sudah memakluminya - dia memanglah seorang fujoshi atau semacamnya. Fangirl? Ya, itulah dia. Dengan senyum yang terbingkai, aku mengulurkan tanganku. 

"Ini! Hyah~!!" Ia kembali bertingkah. 

Aku mengamati sebuah gambar yang terpampang di layar ponselnya. Tak salah lagi, itu adalah fotoku bersamanya sepulang sekolah kemarin. Saat itu kami belum pulang lantaran hujan - begitupun dengan anak ini - aku dan dia duduk di sudut ruangan sambil berbincang seperti biasa. Kurasa diam-diam dia mencoba mengambil kami. Hal ini dapat terlihat jelas ketika tiba-tiba aku mendengar suara kekehan yang tertahan ketika itu - siapa lagi anak yang benar-benar terlihat ceria hanya karena hal ini? 

Sebenarnya jika dia ingin melakukannya, aku tak keberatan. Teman laki-lakiku yang lain pun sepertinya begitu. Tapi, tidakkah justru ia sendiri yang terlalu takut untuk melakukan hal ini meski ia ingin?

"Bagus. Kamu mengambilnya dari sudut yang bagus. Selamat ya..."

"Iya, terimakasih... Ehehe..."

"Kamu nggak akan menjadikan ini referensimu 'kan?"

"Ehehe, tenang saja... Aku tidak akan menggunakannya untuk hal-hal aneh..."

Dia tersenyum kecil.

"Boleh aku minta? Tolong kirim melalui bluetooth, ya"

Ia terlihat antusias. Lalu tanpa sadar aku bertanya suatu hal yang ingin kuketahui jawabnya...

Samakah ia denganku?

***
Hiks... Hiks...

"Ibu... Kenapa Ibu menangis?"

"Apakah tidak boleh anak kecil mengetahui urusan orang tua?"

"Ibu,"

"Ibu..."

"Ibu...!"

Aku langsung tersadar dari tidur siangku ketika mendengar riuh-ruah yang menambah peningku.

"Ah..." 

Snif snif...

Tanganku mencoba meraih sekotak tisu yang baru saja kubeli. Aku mengusap lendir yang memenuhi hidungku. 

"Aa... Terimakasih, terimakasih~ Terimakasih~"

Bocah itu menunduk sambil berterimakasih kepada sekumpulan anak yang sedang bersorak-sorai. Lalu pergi melewati kedua salah satu daun pintu yang tertutup.

Aku menghela nafas berat. Mimpi itu lagi. Aku sudah berusaha untuk melupakan hal itu, namun rupanya hanya dengan rintik gerimis di luar - ... Ah, lupakan! Aku tak peduli - ingin menguburnya dalam-dalam. Aku tidak ingin membuangnya karena hal ini merupakan kenanganku akan mereka. Meski menyakitkan, dalam hatiku, aku masih menyayangi mereka. Sampai kapanpun - meski kami tak lagi bisa bersama. 

Aku beranjak dari tempat dudukku, hendak pergi mencari udara segar. Hawa kelas pun terlalu dingin bagiku. Kebetulan, ia juga baru saja keluar dari kelasnya yang berada di samping depan kelasku. 

Aku melambaikan tanganku seraya memanggilnya. Di saat itu pula gadis itu lewat di hadapan kami berdua. Dengan menunduk, ia melewati kami berdua. Namun sepenggal sapaan ringan dari calon lawan bicaraku berhasil menghentikan langkahnya.

"Umm... Hai! Nando, ya? Terimakasih untuk fotonya!"

"A-- a-- te-terimakasih..." 

Berbeda dari beberapa waktu lalu, ia kini nampak lebih canggung. Aku makin menduga-duga, sepertinya hal yang sedang kami hadapi memanglah sama. 

"Tidakkah kau ingin bergabung dengan kami dan mengambil lebih banyak foto?"

Aku hanya berpikir, bisa-bisanya ia mengatakan hal itu dengan senyum bisnis yang amat terlihat. 

"Hei, kau membuat dia kebingungan! Itu terdengar seperti kau sedang mengejeknya, tahu!" 

Aku mengalihkan pandangan sambil mengikat tali sepatu. Rupanya ia tak menghiraukanku dan tetap meneruskan bisnisnya. Sedangkan anak itu, ia tak dapat menahan senyuman. Tpai pada akhirnya, ia menolak.

"Bukankah kamu memiliki janji dengan orang ini?," Ia menunjukku. "Tidakkah kau ingin membicarakannya bersama nanti?"
"A-a- terimakasih untuk tawarannya, tapi - ..."

"Ayolah~ Kami tidak akan memakanmu~," Ia membawa paksa anak yang terlihat ketakutan itu - kemudian raut mukanya terlihat kecut. 

Dia hanya mengingatkanku akan diriku sendiri...

***
Aku telah berusaha untuk menghentikan perlakuannya yang semena-mena. Tentu saja hal itu sangat mengesalkan - dibawa oleh orang yang tak terlalu dikenal menjauh dari tujuan - ditambah orang tersebut merupakan... lawan jenis! Menyebalkan!

"Kau tahu, aku tidak ingin ada seorang gadis yang-"

"Tapi kau memang ingin membicarakan suatu hal dengan anak ini 'kan? Ngomong-ngomong kamu masih anak-anak 'kan? Tidak masalah kok jika ingin bergabung dengan kakak-kakak di sini..."

Ia mengacak-acak rambutnya yang cepak. Aku menepuk bahunya - tak tahan - aku dapat mengerti perasaan anak itu dengan menganalogikan "jika itu aku". 

"Ti-tidak masalah, kok...," ia tertawa kecil. Terpaksa!

Amat terlihat dari raut wajahnya yang gugup dan kebingungan.

"Lihat, dia bilang tidak apa, tuh!"

Menyebalkan! Sejak kapan ia bersikap seperti seorang lelaki menyebalkan seperti ini? Tidakkah kau tahu dia terlihat terganggu dengan sikapmu?!

Aku menjauhkan tangannya dari kepala satu-satunya anak gadis di antara kami tersebut.

"Jika kamu tidak mau, jangan memaksakan diri! Bagaimana bisa kamu membiarkan orang yang tidak kamu kenal ini menyentuhmu! Tidakkah kau merasa dipermainkan?!"

Aku berkata terbata sambil meremas lengan lelaki di sampingku.

Ah, tidak! Aku tidak bisa menahan diri. Hujan masih turun, dan hal itu terus memanggil berbagai kenangan masa lalu.

Aku mencoba mengetur napasku. "Ah, maaf, aku tidak bermaksud apa-apa. Maaf!"

Aku memegangi kepalaku. Terasa pusing! Pikiranku kacau! Aku tidak ingin -... Namun-

"Ma-maafkan aku... Maaf, aku benar-benar menyesal telah menyakiti pergelangan tanganmu..."

Kali ini - sebenarnya aku ingin melarikan diri seperti yang telah kulakukan sebelumnya. Tapi aku benar-benar sadar, hal itu tidak akan membuahkan hasil apapun. Aku hanya berpikir, hal itu lebih seperti kau tidak ingin menyelesaikan masalah itu - hanya berkata tanpa tindakan nyata.

"Untuk Nana, tolong maafkan tindakan kami yang aku rasa benar-benar mengganggumu dan maaf telah berkata kasar padamu. Tidakkah ini terasa menyakitkan? Maaf, ya. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya memikirkan diriku pada posisimu - itu cukup membuatku kesal. Sekali lagi maafkan kami..."

"A-aa, tidak masalah kok, Kak... Beneran ehehe...Eh? Ups!"

"Kamu tidak terlalu menyukai lelaki yang mendekatimu 'kan?" Tawanya masih nampak terpaksa bagiku. 

"Ehehe, tidak..."

"Maaf, tapi tolong jangan berbohong..."

"Be-beneran, kok, saya tidak masalah..."

"Aku terlalu memaksa, ya? Yasudahlah, maaf... Aku hanya ingin bertanya, mengapa kau menjadi seorang fujoshi? Kamu memiliki suatu alasan untuk hal itu 'kan? Bukankah sebelumnya kau adalah seorang penggemar sesama? Kamu pasti memiliki alasan 'kan?"

"Penggemar sesama? Penyuka maksudmu? Ahaha!"

Aku kembali menghela napas berat. Aku tidak suka paksaan, dan mungkin dia pun begitu. Namun, aku ingin mengetahuinya.

"Maaf, Ken, tapi kurasa hari ini kau sedikit tidak seperti dirimu..."

"Y-ya, i-itu benar... Aku-aku memang seorang fujo - aku memang pernah menyukai yuri... Tidak normal, bukan? Memang, aku mengakuinya, tapi aku tidak bisa mengatakan alasannya! Ini menyangkut mereka! Aku tidak bisa jika ini tentang mereka!"

Aku tertegun - dugaanku selama ini benar. Karena mereka, ya? Mereka yang berharga dan kau tak ingin kehilangan mereka...

"... jadi kau lebih memilih untuk mengorbankan perasaanmu dan menjadi seperti ini, ya? Demi masa depan? Agar 'hal itu' tidak lagi terjadi? Terlalu memusingkan untuk dipikirkan... Bagaimana jika kita menyakiti atau malah tersakiti dan membuat hubungan semakin rumit?"

Kami tertegun. Bagaimana kita bisa mengalami hal yang sama? 

"Bagaimana Oniichan bisa mengetahuinya?"

"Aku hanya merasa - kita memiliki banyak kesamaan - entah kamu menyadarinya atau tidak..."

"Kurang lebih, begitulah... Maaf tapi aku tidak ingin membahasnya... Bau nostalgic hujan membuatku napasku terengah ketika memikirkannya... Menyakitkan-" 

Ia membenamkan kepalanya. Aku tak dapat berkata. Perasaan bersalah membelengguku. 

"Hei... Jangan bersedih, dong! Foto kami saja, yuk! Tidak perlu memikirkan apa yang orang lain katakan. Cukup menjadi dirimu yang terbaik!"

Ia kembali mengacak-acak rambutnya. Aku tak dapat berbuat apapun selain ikut mendekatinya. 

"Maaf..."

Lagi-lagi aku hanya dapat mengatakan maaf. Menyedihkan memang - jika mengingat tentang mereka dan hujan yang turun. Masalah keluarga - hubungan di dalamnya - memang bukanlah masalah yang dapat kami hadapi dengan mudahnya. Pelik!

Tanpa kusadari, aku telah jatuh dalam dekapan Ken.

"Say, cheese!"

"Cheese-"

"Hai, Nando! Coba lihat!," ia rupanya tidak memedulikan bujukan Ken. Ken hanya tersenyum ringan padaku - makin membuatku merasa bersalah. 

Aku mendekati, tak berani menyentuhnya - namun akan kukatakan.

"Nan, maaf ya membuatmu bersedih di hari ulang tahunmu - happy birthday!"

"Oniichan bodoh! Akh, ka-kalau- ah, Oniichan bodoh!" Ia mulai bersuara sambil tetap menyembunyikan mukanya - mengusap air matanya. 

" Sudah mendapat ucapan dari keluargamu?" Ken ikut angkat bicara. Ia hanya mengangguk pelan sambil terus mengusap air mata yang menetes - bersamaan dengan rintik hujan yang masih belum juga berhenti. Ken tersenyum simpul ke arahku - lagi.

Ya, ini bukan saatnya aku mengatakan tentang keadaanku. Cukup dengan satu ucapan dari orang ini, aku telah merasa bahagia. Jadi, inilah saatnya aku membagikan kebahagiaan yang telah kudapat.

"Maaf, ya... Mari rayakan hari ini untukmu. Setelah sekolah usai, kami akan menunggumu di sini..."

"Te-terimakasih banyak... Aku tidak tahu mengapa kali ini banyak sekali orang di sekelilingku. Pa-padahal aku telah menyiapkan diri jikalau mereka tidak mengingat hari ini- bahkan aku berusaha melupakannya. Tapi-- terimakasih, Oniichan! Happy birthday to you, too~!"

Ia mengeluarkan selembar kertas dari salah satu saku bajunya, lipatan kertas bergambar yang ia buat sendiri. 

"H-hai, dari mana kamu mengetahuinya?"

"Aku sempat mengamati Oniichan ketika mengisi selembaran beberapa waktu lalu..."

"Bukankah ini bagus? Mari kita rayakan untuk kalian berdua..."

Aku hanya menganga.

***
Aku kembali ke kelas bersama kedua orang teman kelasku yang lain. Sejak tadi aku tak melihat batang hidung Ken yang berhasil kembali mengembangkan senyum bocah cilik itu. Aku berhenti sejenak di depan kelas tempatku berada. Mengamati tetesan hujan yang masih mengguyur. Ah, hujan - kapan kau akan berhenti? 

"Eh, darimana kamu, Nan?" Aku mendapati bocah cilik ini rupanya membuntutiku.

"Aku tidak membuntuti Oniichan, kok! Kebetulan saja aku baru kembali dari tempat yang sama dengan Oniichan berada!"

Aku tersenyum kecil. Lalu kami bergegas menuju markas rahasia kami. Aku tidak menyadari bahwasannya ia telah menjadi anggota baru di hari ini. 

"Oniichan..."

"Ya?"

Tunggu! Sejak kapan aku dapat mengerti hal yang dimaksudanya hanya dengan menatap mata sayunya.  

Ya, aku tidak apa-apa, kejadian itu telah berlangsung beberapa tahun lalu, - saat diriku masih menjadi seorang bocah yang belum terlalu mengerti apapun. 

Ya, tangisan yang membasahi pipi Ibu merupakan badai besar bagiku. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka saat itu - tapi... bagaimanapun aku tak dapat menahan tangisku selama bertahun-tahun setelah putusan itu diturunkan. 

Adakah yang salah dengan cinta pertama? Namun aku juga tidak bisa menyalahkan ibu yang memiliki perasaan halus. Lalu tidakkah 'dia' juga telah menemukan pasangan hidupnya? Mengapa masih sempat-sempatnya berkata hal semacam 'itu' di depan Ibu?

Ah? apa? kini aku tak dapat menerjemahkan tatapanmu itu...  

Senyuman? sejak kapan senyum itu terkembang di wajah polosmu?


Tidakkah ini begitu aneh? Semua yang terjadi pada kita?

Bagaikan air pada tiap tetes hujan -




***

Just happy birthday to you, Oniichan~
Thanks for Today, All~

Hope you have a nice day~

Comments

Popular posts from this blog

CANGKRIMAN

Cangkriman yaiku unen-unen kang rinacik ing tembung kang tumata, surasa utawa isine ngemu teges kang dudu dibadhe ( ditebak ). Cangkriman uga kasebut ‘badhean’ utawa ‘bedhekan’. Racikaning cangkriman ana kang dhapur ukara lumrah, ana kang sinawung ing tembang. Wujud lan dhapukaning cangkriman kabedakake: 1.        Cangkriman kang awujud wancahan Tuladhane: a.        Wiwawite lesbadhonge ( uwi dawa wite, tales amba godhonge ) b.       Pak bomba, pak lawa, pak piut ( tapak kebo amba, tapak ula dawa, tapak sapi ciyut ) c.        Pak boletus ( tapak kebo isi lele satus) d.       Nituk lersure ( nini ngantuk diseler susure ) e.        Kicak tekan ( kaki macak iket-iketan ) f.        Yu mahe rong ( yuyu omahe ngerong ) g.       Burnas kopen ( bubur panas kokopen ) h.       Surles penen ( susur teles pepenen ) i.         Karla ndheren ( mbakar tela sumendhe keren ) j.         Rang sinyu, muksitu ( jurang isi banyu, gumuk isi watu ) 2.        Cangkriman kang awuju

Soal Verifikasi Portofolio FSRD ITB 2016/2017

Halo! Bagi kalian yang sedang berburu info seputar ujian keterampilan FSRD ITB atau DKV ITS, dan prodi-prodi desain lainnya, mungkin beberapa soal ini bisa membantu kalian dalam mendapatkan gambaran, atau setidaknya mendapatkan inspirasi tentang ujian keterampilan itu sendiri, terutama untuk "Gambar Suasana". Nah, soal ujian keterampilan ITB itu sedari dulu sudah dikenal unik. Dan, ternyata benar! Ini adalah soal tes gambar untuk verifikasi portofolio yang diselenggakan sesaat setelah verifikasi data akademik siswa yang diselenggarakan pada akhir Mei lalu (31 Mei 2016). Untuk verifikasi portofolio, peserta hanya perlu menggambar "Gambar Suasana" karena portofolio SNMPTN tahun 2016 hanya terdiri atas 2 portofolio wajib yang keduanya merupakan gambar suasana dengan tema-tema pilihan yang telah ditentukan.  Semoga membantu! ' v ' )   FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Verifikasi Portofolio Waktu: 90 menit   SOAL Pi

Kouji: Tasteful Life

Suatu pagi yang dingin di musim semi tahun ketiga SMA. Aku membuka tirai jendela yang tertutup embun. Angin pagi bertiup sepoi-sepoi, menerbangkan kelopak bunga sakura yang berguguran. "Ko, kau sudah bangun? Makanan sudah siap!" "Ya," jawabku. Aku mengenakan baju bergaris biru-abu dengan celana panjang. Kukenakan pula jaket dan headset biruku, lalu berjalan santai menuju dapur. Sakura nee-chan menatapku dengan lembut sambil menghidangkan sepiring besar kariage beserta mangkuk berisi yasai itame. Tiga mangkuk kecil nasi juga sudah terhidang di meja. Aku menarik kursi dan duduk sembari mencium aroma wangi dari masakannya. "Kakak mana?" tanyaku. "Sepertinya dia masih tidur. Tunggu, ya," Sakura Nee-chan tersenyum, lalu pergi menuju kamar, "Sayang, makanannya sudah siap!" Melihat Sakura nee-chan yang lembut dan gigih membuatku senang. Aku seperti merasakan kehangatan seorang ibu yang sudah lama kurindukan. "Hoaam! Hehe,