"Bagaimana cara agar aku bisa dekat degannya?"
"Mudah saja, kau hanya perlu berkenalan, kemudian membangun hubungan kalian sedikit demi sedikit . . . ."
Shiro mengembuskan sambil tersenyum kecil. Pemuda yang ada di sampingnya menatap langit sambil mengayun tubuhnya ke depan dan ke belakang.
"Hmm . . . tapi tidak semudah itu sih," katanya lagi.
Mendengar hal yang sama dengan apa yang ia pikirkan, membuat Shiro tertawa kecil.
"Nah!" katanya. Tangan kirinya menopang kepalanya yang mengarah pada sahabat yang juga ikut terkekeh.
"Ahahaha! Bagaimana ya, caranya? Aku juga bingung, Shiro!"
Arima menghentikan ayunannya dengan gesekan antara sandal gunungnya dengan pasir, kemudian melanjutkan tawanya yang berusaha ia tahan,"Kalau aku tahu, aku sudah menggugurkan status jomloku sekarang."
"Pfft!" Shiro ikut meletakkan kedua telapak tangan pada bibirnya, menahan tawa.
Matahari senja masih bersinar anggun di ufuk barat, menerangi langit sore itu. Perlahan, mega merah mulai memenuhi horizon. Cahaya matahari makin meredup, tergantikan oleh kemerlip lampu-lampu jalan.
"Shiro, pulang, yuk!" Arima melompat dari dudukan ayunan dan membenarkan baju bagian belakangnya. Shiro masih berayun. "Kita bisa telat berjamaah, lho, kalau tidak bergegas," sambungnya.
"E-eh, iya."
Arima mengulurkan tangannya. "Ayo!"
Shiro meraihnya. "Makasih," katanya.
"Yo!" keduanya tersenyum.
Tiba-tiba, Arima melepaskan genggamannya dan berjongkok di tanah, meletakkan kedua tangannya dengan mencondongkan badannya ke depan. Hal itu mengundang tanda tanya bagi Shiro.
"Ayo kita berlomba menuju surau dekat sekolah!" Dan ia menyadarinya.
"Eh?" Shiro tidak mengerti, tetapi tetap mengikuti perkataan Arima.
"Yo! Siap." mereka berdua dalam posisi bersiap.
Arima memandang lurus ke depan, sedangkan Shiro masih membandingkan posisi badan mereka. "Begini kah?" gumamnya.
"Bersedia . . . ." Kini, Arima mengangkat pantatnya dan Shiro masih mengamati gesturnya. "Gak!"
Di saat yang sama, Arima melesat meninggalkan Shiro. "E-eh!"
Masih dalam bingung, Shiro kemudian mengejarnya dari belakang. "Eh, tunggu!"
Suara keduanya melebur bersama kicauan camar yang melayang di atas lautan serta desiran ranting pepohonan di atas tebing berbatu itu.
"Mudah saja, kau hanya perlu berkenalan, kemudian membangun hubungan kalian sedikit demi sedikit . . . ."
Shiro mengembuskan sambil tersenyum kecil. Pemuda yang ada di sampingnya menatap langit sambil mengayun tubuhnya ke depan dan ke belakang.
"Hmm . . . tapi tidak semudah itu sih," katanya lagi.
Mendengar hal yang sama dengan apa yang ia pikirkan, membuat Shiro tertawa kecil.
"Nah!" katanya. Tangan kirinya menopang kepalanya yang mengarah pada sahabat yang juga ikut terkekeh.
"Ahahaha! Bagaimana ya, caranya? Aku juga bingung, Shiro!"
Arima menghentikan ayunannya dengan gesekan antara sandal gunungnya dengan pasir, kemudian melanjutkan tawanya yang berusaha ia tahan,"Kalau aku tahu, aku sudah menggugurkan status jomloku sekarang."
"Pfft!" Shiro ikut meletakkan kedua telapak tangan pada bibirnya, menahan tawa.
Matahari senja masih bersinar anggun di ufuk barat, menerangi langit sore itu. Perlahan, mega merah mulai memenuhi horizon. Cahaya matahari makin meredup, tergantikan oleh kemerlip lampu-lampu jalan.
"Shiro, pulang, yuk!" Arima melompat dari dudukan ayunan dan membenarkan baju bagian belakangnya. Shiro masih berayun. "Kita bisa telat berjamaah, lho, kalau tidak bergegas," sambungnya.
"E-eh, iya."
Arima mengulurkan tangannya. "Ayo!"
Shiro meraihnya. "Makasih," katanya.
"Yo!" keduanya tersenyum.
Tiba-tiba, Arima melepaskan genggamannya dan berjongkok di tanah, meletakkan kedua tangannya dengan mencondongkan badannya ke depan. Hal itu mengundang tanda tanya bagi Shiro.
"Ayo kita berlomba menuju surau dekat sekolah!" Dan ia menyadarinya.
"Eh?" Shiro tidak mengerti, tetapi tetap mengikuti perkataan Arima.
"Yo! Siap." mereka berdua dalam posisi bersiap.
Arima memandang lurus ke depan, sedangkan Shiro masih membandingkan posisi badan mereka. "Begini kah?" gumamnya.
"Bersedia . . . ." Kini, Arima mengangkat pantatnya dan Shiro masih mengamati gesturnya. "Gak!"
Di saat yang sama, Arima melesat meninggalkan Shiro. "E-eh!"
Masih dalam bingung, Shiro kemudian mengejarnya dari belakang. "Eh, tunggu!"
Suara keduanya melebur bersama kicauan camar yang melayang di atas lautan serta desiran ranting pepohonan di atas tebing berbatu itu.
EPILOGUE: END
Comments
Post a Comment